Temaram Senja
Dor! Dor! Dor!
Samar–samar, rentetan bunyi senjata yang memekakkan telinga kembali terdengar. Peluru panas melesat menghujam tubuh-tubuh kurus kering yang terseok-seok tak berdaya. Harus ke mana kaki mereka menapak? Toh mereka telah terlambat untuk menyelamatkan diri dan terperangkap. Serdadu berkuda mengepung di tiap penjuru. Nasib sudah di ujung tanduk. Moncong pistol mengarah tepat ke kepala. Seluruh sandera ketakutan, pucat pasi. Sekelebat bayangan kematian menghantui pikiran mereka. Hening…., hanya sesekali terdengar ringkikan kuda yang memecah kesunyian. Suasana mencekam mencengkeram erat tiap detak jantung dan deru nadi warga desa Sukamandi tanpa terkecuali. Mereka yang beruntung, di dalam persembunyiannya menangis pilu meratapi nasib ayah bundanya, anak, istri, saudara, dan entah siapapun yang tertangkap di luar sana.
“Beri jalan! Buka barisan,”terdengar komando dari belakang. Sesuai instruksi, perlahan prajurit-prajurit berseragam biru itu menggiring kudanya untuk membuat celah masuk. Kini terlihat jelas menanti di ujung lain seorang pria paruh baya dengan lencana yang menyilaukan dan atribut penuh sesak berjejalan di bajunya. Tampaknya ia seorang yang berkedudukan cukup tinggi. Entahlah. Tak begitu jelas terlihat. Sinar mentari telah mengaburkan bentuknya. Kuda hitamnya bergerak memasuki barisan terdepan. Setengah jijik ia memincingkan matanya, memandang warga desa yang bergetar ketakutan.